Oleh : Harry Afs
Subyektifitas dalam hal ini mempunyai peranan yang boleh dibilang sangat urgen bagi proses rekonsiliasi kehidupan manusia. Subyektifitas tidak saja di maknai dalam pengertian yang lebih massif dari sebuah mengembangnya peradaban manusia. Akan tetapi dalam predikat praksis aktualistis, subyektifitas relative dimaknai sebagai sisi non-humanis, arogan dan diskriminatif. Pada dasarnya teori ini selalu menyertakan manusia sebagai palaku - pelaksana yang relative mengedepankan eksistensi mereka - bukan sebagai makhluk Tuhan yang bijak, arif dan cenderung mengutamakan kepentingan golongan dari pada kepentigan personal. Kemudian yang jadi pertanyaan adalah sejauhmanakah urgensitas dari sebuah subyektifitas manusia dalam pengaruhnya terhadap pendidikan nilai yang berkembang ?.
Di sini kita tentu tahu, bahwa nilai budi manusia tidaklah berkembang secara dinamis sesuai dengan yang diharapkan, akan tetapi nilai budi relative mengalir dan dia lebih fleksibel sesuai dengan arus peradaban yang berkembang. Jika sebuah paradaban dirasakan berkembang kearah yang positif maka tata nilai manusia akan dengan sendirinya ikut berkembang secara positif, namun bila peradaban manusia relative berkembang secara negatife, maka sudah barang tentu tata nilai budi akan ikut membututinya. Dari sini jelas sekali tampak adanya degradasi moral yang lebih bersifat eliminatif. Nilai budi justru dipahami sebagai suatu paradigma yang mati, pasif dan non-fungsional. Oleh karenanya perlu adanya system pendidikan nilai yang positif, humanis dan membangun. Pendidikan di sini dimaksud sebagai pendidikan yang berfungsi sebagai mediator yang secara kompleksitas mencakup segala aspek moralitas bangsa.
Kalau kita kaji secara mendalam eksistensi nilai budi manusia, dirasakan semakin tereliminasi oleh mobilisasi mekanisme peradaban, cultural dan system modernisasi yang berkembang. Penyimpangan-penyimpangan susila seputar kecelakaan moral dapat dilihat semakin massif diberbagai sudut daerah. Entah apakah itu karena didorong oleh faktor ekonomis, faktor provesi, sampai kepada faktor “hanya sekedar iseng”, yang jelas fenomena ini menggejala seiring dengan tereliminasinya perkembangan perekonomian bangsa. Yakni sejak lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan Republik Indonesia yang juga diiringi oleh munculnya dengan apa yang lebih terkenal dengan sebutan krisis moneter.
Moment inilah yang mungkin tidak akan lepas dari memori rakyat. Krisis moneter telah dengan suskses mengubah seluruh sisi dimensional masyarakat Indonesia, ia telah berhasil menorehkan bekas di hati rakyat melebihi pengaruhnya peristiwa revolusinya Soekarno. Dari sinilah kemudian kondisi perekonomian rakyat mengalami dengan apa yang disebut sebagai “runtuhnya moralitas bangsa”. Fenomena ini boleh dikatakan semakin sukses menguji moralitas dan mentalitas bangsa. Dengan semakin tingginya nilai sandang dan pangan, orang telah sedemikian rupa mengesampingkan nilai-nilai moral, akal budi dan etika yang notabene harus diaktualisasikan secara persuasive. Ironisnya, orang akan tetap beranggapan bahwa tata nilai sosial adalah sebuah paradigma yang hanya terbatas pada tataran teoritis formalis, dan sama sekali kering dari segala aspek praksis aktualistis. Revitalisasi seputar pengembangan dari segala bentuk pengajaran masa kanak-kanak, baik dalam konteks familiar, miliu maupun dalam sebuah keharmonisan lingkungan akademik dirasakan kurang begitu massif ketika orang telah menganggap dirinya dewasa, dan merasa sifat pluralisme kehidupan telah ikut mewarnai pola pikirnya.
Kalau kita amati secara mendalam, nampak sekali adanya faktor kausalitas yang lebih urgen dalam pengaruhnya terhadap kompleksitas tersebut. Di sini sebuah struktural birokratif telah ikut memainkan peranan penting dalam system kausalitas tadi. Struktural birokratif tersebut adalah negara yang paling tidak mempunyai otonomi dan otokrasi secara eksistensial, serta merupakan doktrin yang mampu memberikan naungan secara universal pada rakyatnya. Negara bukanlah simbol dari sebuah institusi yang beku, mati dan chauvinisme. Negara adalah realisasi aktif dari sebuah dikotomik yang plural. Karena dari negaralah sebuah tata nilai humanisme akan lahir. Negara memainkan peranan yang fungsional dalam merekonstruksi sebuah ideologi rakyat.
Namun demikian kita perlu tahu bahwa pada dasarnya esensi sebuah negara adalah hanya terbatas pada kerangka objektifitas yang pasif, di mana mobilisasi seputar urgensitas-nya terhadap tata nilai dalam pragmatisme kemasyarakatan sangat tergantung pada mereka yang menganggap dirinya sebagai para pelaku atau pelaksana yang berperan aktif dalam menjalankan roda perkembangan negara tersebut. Dengan demikian sebuah negara akan sulit diproporsikan pada kerangka persuasif manakala perasaan nasionalisme belum dikatakan mengakar di setiap sisi dimensi masyarakatnya. Sementara itu guna mendorong massifnya perasaan nasionalisme tadi, masyarakat sangat memerlukan adanya semacam program pendidikan moral yang berkaitan dengan norma-norma kemasyarakatan.
Kalau dilihat pada standarisasi formal akademik, memang strukturisasi akademis telah menunjukkan pola kurikulum yang boleh dibilang kredibilitatif.. Hal ini dapat dilihat dengan kondusifnya sebuah konsepsi logis pendidikan nasional yang ditandai dengan adanya mata pelajaran yang lebih bersifat normatif, seperti PPkN, Pendidikan Etika dan Moral. Bahkan tidak sedikit lembaga pendidikan yang masuk pada tataran akreditasi. Akan tetapi praksis aktualistis telah menunjukkan sesuatu yang sebaliknya. Pragmatisme pendidikan sama sekali tidak menghasilkan restrukturisasi dari mengembangnya sebuah polarisasi tata nilai. Dikotomik ini tentu saja sangat bertentangan dengan pola dasar yuridisasi pendidikan bangsa yang lebih mengedepankan konsep perikemanusiaan, humanisme, serta demokratisasi dalam kerangka negara kesatuan Indonesia. Apabila pikiran kita dibiarkan menyelam ke dalam persoalan ini, tentu sebuah pertanyaan akan muncul ke permukaan, yaitu mungkinkah hasil yang di dapat dari pragmatisme pendidikan tadi akan mengalami kongruensi dengan mekanisme dasar pendidikan nasional ?, atau malah sebaliknya, hasil dari kausalitas pendidikan tadi tetap akan masuk pada tataran paradigma imajinatif saja ?.
Sentralisasi permasalahan sebenarnya terletak pada tingkat demokratisasi dan strukturisasi normative dari tiap dimensi masyarakat. Karena pada dasarnya praksis aktualistis selalu menunjukkan bahwa sumber daya manusia mempunyai tingkat peran yang paling tinggi dalam rangka mewujudkan cita-cita tersebut. Hal ini sangat logis mengingat sumber daya manusia, dimanapun tempatnya akan selalu diproporsikan sebagai the custom of law-nya masyarakat. Di Indonesia sendiri sebenarnya kreditasi sumber daya manusia mempunyai tingkat paling tinggi. Namun karena pengaruh chauvinisme otoritas, baik sengaja atau tidak telah berdampak pada polarisasi primordialisme masyarakat bawah. Dan hal ini semakin kentara ketika mobilisasi peradaban profan dan paradigma modernisme merambah secara persuasive di lingkungan masyarakat atas. The custom of law tidak lagi tampak secara actual sebagai atribut masyarakat lokal. Pengaruhnya jauh tereliminasi oleh mengembangnya paradigma baru yang lebih sekuler.
Illustrasi di atas memberikan pada kita sebuah aktualisasi tentang tereliminasinya tatanan sosial birokrasi sebuah negara, ke dalam suatu lingkaran dehumanisasi dan chauvinisme secara keseluruhan. Munculnya total lose di lingkungan birokrasi Indonesia tersebut bukan tidak mungkin adalah sebagai realisasi dari mengembangnya watak arogansi, dehumanisasi dan chauvinisme serta berakarnya konsep mementingkan diri sendiri demi mencapai suatu tujuan. Sementara harapan-harapan akan menuju pada sebuah tata nilai yang persuasif hanya terbatas pada tataran imajinatif belaka.
Kalau kita aktualisasikan secara normatif sebenarnya munculnya berbagai isu paradigma sekuler tadi, tampak akan menjadi lokomotif yang mengantarkan kita pada sebuah revivalisme yang humanis, kondusif serta konstitusional. Karena pada dasarnya determinisme ini bukanlah merupakan suatu rekonstruksi dari sebuah masifikasi. Ia lebih merupakan wacana konseptual dari mengembangnya sebuah pemikiran humaniora. Namun jika munculnya fenomena modernisme tadi relative dimaknai sebagai sebuah intervensi cultural yang jahat dan dominatif, maka secara otomatis ia akan terproporsi pada sebuah paradigma baru yang non-ko-operatif, openhardig, dan chauvisnisme. Ia adalah lebih merupakan kristalisasi dari fenomena emosional yang bersifat temporal, dan bukan sebagai revivalisasi dari mengembangnya akal pikir manusia. Namun demikian lepas dari proporsitas paradigma modernisme itu sendiri, yang pasti kemunculannya telah membawa dampak tersendiri bagi kelangsungan rekonsiliasi komunitas masyarakat. Ia telah dengan kuat mencengkram segala dimensi imajinatif rakyat.
Apabila kita melihat ini sebagai sebuah invasi baru yang lebih sekuler, maka kita akan dihadapkan pada praktisisme dari mengembangnya techno-kapitalisme modern, yang dengan sengaja akan membutuhkan semacam karakteristik ke-ilmuan yang dianggap mampu memberikan dampak positif, persuasive dan legitimage bagi masyarakat secara keseluruhan. Dari sinilah “pendidikan nilai” sangat diperlukan.
Pendidikan Nilai bukan saja dimaknai sebagai bidang keilmuan yang hanya terbatas pada struktur birokratis akademik semata, akan tetapi, di samping sebagai bagian dari mekanisme kurikulum yang secara teoritis tercantum dalam mata pelajaran etika, akhlak dan moral, ia lebih merupakan suatu polarisasi yang akan menempatkan masyarakat sebagai peserta didik, dalam sebuah komunitas dan bukan sebagai suatu individu yang beku, pasif dan sempit fikir. Pendidikan nilai adalah rekonsiliasi akal budi yang akan membawa pola pikir rakyat kearah tatanan yang lebih dinamis dan eksistensial. Ia adalah suatu pola yang secara kompleks lebih kontaminatif meresap ke semua sisi dimensional masyarakat. Ia tidak semata mengeliminasi munculnya dampak negative dari mengembangnya paham techno capitalism di lingkungan masyarakat, tetapi lebih dari itu ia akan menempatkan masyarakat sebagai subyek yang berperan secara aktif dan fungsional. Dalam pengertian, masyarakat adalah komunitas subyek yang dengan akal budinya mampu memberikan reaksi empiris terhadap paradigma-paradigma baru yang muncul. Di sini, pemahaman tentang konsep masyarakat subyek bukanlah masyarakat yang relative mengedepankan perasaan otoriterisme, dimana perasaan peng-aku-an lebih didasarkan pada konsep aroganis, emosionalis serta egoisitasnya. Misalnya kasus-kasus seputar tindakan dehumanisasi yang dilakukan aparat terhadap aksi-aksi demo mahasiswa yang lagi marak akhir-akhir ini, atau kasus pelecehan HAM yang dilakukan Polisi Pamong Praja terhadap aksi demo korban penggusuran, serta masih banyak lagi kasus-kasus yang mungkin motif dan jenisnya beda, tetapi mempunyai titik artikulasi yang sama. Dengan Pendidikan Nilai, masyarakat dituntut sedemikian rupa untuk selalu menempatkan isu-isu baru yang muncul sebagai sebuah wacana logis, yang mana restruksturisasi kultur lokal dapat berjalan seiring dengan rekomendasi akal budi, sehingga diharapkan mampu menghasilkan kristalisasi posistif dari munculnya isu seputar pluralisasi techno capitliasm. Untuk menjalankan suatu rekonstruksi secara methodis, mekanis dan proporsional, sepertinya proses ini dalam perkembangannya, bukanlah merupakan suatu yang prediktif dan bersifat spontan. Pendidikan harus dijalani secara tuntas dan menyeluruh, dan tidak hanya sebatas pada tataran pendidikan menengah saja yang praksisnya kebanyakan disesuaikan dengan tingkat ekonomi mereka. Faktor inilah yang menjadi landasan fundamental runtuhnya moralitas bangsa.
Bagi Anda yang Pengen Belajar Design Grafis, Silahkan Klik Link Ini: Graphickoe.Com. Ayo Atuh di Klik, Biar Tutorialnya Muncul.
2 comments:
semoga bermanfaat...
Ammiieenn....
Post a Comment