Oleh : Harry A.Fs
Mengutip dari tulisan Pdt. Esra Alfred Soru yang diterbitkan pada Harian TIMEX (Timur Express) yang terbit di Kupang (Nusa Tenggara Timur) tentang Pluralisme Agama, di mana Doktrin Dasar Iman Kristen berkata: “Bahwa Yesus Krestus satu-satunya jalan Keselamatan“. Atau kaidah Islam tentang konsep: “Tiada Tuhan selain Alloh SWT“, Serta juga beberapa pendapat para pemuka agama yang kebanyakan lebih mengedepankan fanatisme agama masing-masing, jelas sekali ada semacam penonjolan vertikalisasi dikotomik. Namun demikian, karena pembahasan kita kali ini adalah pluralisme, maka dari beberapa illustrasi di atas mau tidak mau harus kita benturkan pada pemahaman tentang pengertian pluralisme itu sendiri, yang mana tampak ada semacam in-ekuivalensi di antara keduanya.
Untuk sementara coba kita mengadopsi pemahaman tentang pluralisme menurut Hamid Fahmy dalam “Islam dan Paham Pluralisme Agama“ yang diambil dari situs immasjid.com, yang menyatakan bahwa: “Yang pertama (pluralitas agama) adalah kondisi di mana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan yang kedua (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi“.
Tampak jelas sekali bahwa pluralitas agama pada dasarnya mencoba untuk memberikan peluang secara universal kepada ruang lingkup privatisasi agama masing-masing untuk secara komunikatif mengeliminasi segala bentuk diferrensiasi internal. Hal ini dengan sadar akan mengakomodir sebuah teori logis bahwa realitas beragama yang terjadi di masyarakat menunjukkan sesuatu yang boleh dibilang sangat kompleks. Kompleksitas ini memberikan pemaknaan tentang begitu pluralnya keyakinan beragama yang berkembang di tengah masyarakat tersebut. Sekarang kita akan coba melihat pluralisme agama dari sisi sosial kemasyarakatan, di mana rekonstruksi tentang mengembangnya esensi pluralitas tadi dalam konteks yang lebih massif, ternyata kurang begitu mengkontaminasi sendi-sendi kehidupan masyarakat. Kehidupan yang harmonis dalam lingkungan umat beragama masih dalam tataran slogan-slogan dogmatif. Hal ini akan memberikan persepsi logis betapa masih terlalu dangkalnya pemaknaan masyarakat tentang esensitas pluralism kehidupan beragama. Kenyataan yang berkembang di masyarakat tentang rentannya seputar “Issue SARA” masih menjadi momok yang cukup mengganggu sistem sosialisme yang berkembang. Orang akan lebih konsisten pada aspek berani mati untuk membela agamanya dari pada mengedepankan konsep pemecahan masalah secara dialogis dan rasionalis. Afirmasi tentang eksistensinya sebagai makhluk sosial masih kurang mendominasi sisi regionalitasnya.
Kita mengakui memang, pekanya pluralitas agama sebenarnya tidak pernah menjadi suatu hal yang empiris dalam sejarah masuknya agama-agama di negeri ini. Mozaik agama-agama pada awalnya terbentuk secara normatif dan humanis. Namun kalau kita tengok lebih dalam, sebenarnya ada semacam keberagaman yang bukan hanya ditemukan pada agama yang berbeda, akan tetapi secara insklusif, differensiasi tadi lebih banyak ditemukan dalam diri agama-agama itu sendiri. Realitas keberagaman itu tadi akan menjadi suatu hal yang istimewa, ketika orang yang menamakan dirinya sang pelaku agama dengan doktrin fanatisme memproklamirkan dirinya sebagai sang pembela agama. Oleh karenanya, benturan antar umat beragama yang terbaca jelas pada konflik yang berkembang, mesti dilihat sebagai bukti bahwa agama-agama itu ternyata telah melupakan konteks eksistensinya sebagai pemersatu umat, bukan karena pada hakikatnya agama-agama itu tidak mungkin memberikan kontribusinya pada ruang publik dan hanya cocok untuk ada dalam ruang privat agama. Kecenderungan homogenitas inilah yang pada dasarnya telah mengikis kesadaran interdepedensi agama-agama. (Hal senada juga pernah diulas oleh Binsar A. Hutabarat dalam Blog “In-Crist.net – Indonesian Christian Network of Network“ tentang Interdependensi Agama-agama). Lihat juga dalam (Benyamin Fleming Intan, “Public Religion and the Pancasila-based State of Indonesia”, New York : Peter Lang, 2006) yang menyebut hal ini dengan istilah Creative-Proeksistence.
Kenyataan ini dalam konteks futuristis akan memunculkan paradigma baru yang lebih arogan, fanatik dan chauvinis. Fenomena yang muncul seputar pertikaian antar ras, suku dan agama, cukup menjadi referensi bagi para pelaku ilmu dan agama untuk lebih mengkonsentrasikan diri kepada bagaimana cara membina kerukunan hidup bermasyarakat. Karena pada dasarnya realitas akan selalu menunjukkan sesuatu yang sebaliknya. Agitasi moral etnis maupun humanisme foundamental diharapkan mampu memegang peranan persuasif yang tidak saja terbatas pada rekonstruksi moral, tetapi peranannya lebih dari itu, yakni bisa memberikan revitalisasi konkrit pada system moralitas yang afirmatif.
Kalau kita mau mengakui, sebenarnya dari sisi yang lebih dalam, Islam sendiri memberikan sebuah solusi terhadap adanya pluralitas agama, yakni Islam dengan sadar telah mengakui segala bentuk perbedaan dan identitas masing-masing agama (lakum diinukum wa liya diin). Ataupun umat Kristen yang dengan keyakinannya sendiri mencoba mendobrak sistem homogenitas, dengan menyodorkan salah satu ayat dari kitab mereka: “Adapun seluruh bumi, satu bahasanya dan satu logatnya. Maka berangkatlah mereka ke sebelah timur dan menjumpai tanah datar di tanah Sinear, lalu menetaplah mereka di sana” (Kej. 11:1).
Selain agama Islam dan Kristen, agama lain seperti Hindu sendiri juga mengusung beberapa tokoh yang lahir dari kalangan mereka. Dalam doktrinnya agama ini merekomendasikan pluralisme agama sebagai “Universalisme Radikal“, di mana mereka mengangkat nama Ram Mohan Roy (1772-1833) sebagai salah satu tokoh mereka yang turut mempopulerkan gagasan persamaan agama dalam Hindu. Ram Mohan Roy dikenal dengan ajaran-ajarannya yang sinkretik. Roy yang juga pendiri “Brahmo Samaj“, di mana lebih dipengaruhi ajaran-ajaran Gereja Unitarian, sebuah sekte atau denominasi agama Kristen heterodoks.
Sementara itu pemahaman pluralisme dalam agama Budha, tidak bisa lepas dari sisi hirearkhis agama Budha itu sendiri. Menurut sebagian orang mungkin agama Budha bukanlah jenis dari agama Samawi. Mengingat konsep Ketuhanan dalam Budha bahwa Tuhan bukanlah yang di-personifikasi-kan. Agama ini lahir dari hasil pemikiran suci tokoh Sufi Sidharta. Dengan rekonstruksi apik antara pemikiran suci dengan ilham wahyu, maka tak heran jika Budha adalah pelopor utama pendukung pluralisme agama. Dengan konsep “Foundamentalisme Buddhiss“ mereka mencoba mengimplementasikan kebenaran dengan beberapa refferensi yang telah diajarkan dalam Upali Sutta dan Prasasti Batu Raja Asoka. Pada Upali Sutta disebutkan dengan jelas bahwa Buddha sangat mendukung eksistensi agama atau ajaran lain dan begitu pula denganRaja Asoka. Asoka menganjurkan untuk menghormati agama, ajaran, atausekte lainnya. Sehingga mereka sebagai umat Buddha harus mendukung pluralisme ini. Pada intinya mereka berprinsip bahwa setiap agama pada hakekatnya memiliki hak hidup yang sama.
Dan pengakuan-pengakuan serupa bukan tidak mungkin juga telah dipaparkan oleh beberapa agama lain yang sekiranya tidak mungkin penulis jabarkan satu-satu.
Dari sini jelas sekali nampak ada pengakuan inklusivisme dari masing-masing agama itu sendiri. Sebuah penawaran kontribusi subyektif yang meskipun dalam realitasnya masih kering dari aforisme keberagaman yang mendasar, namun dalam konteks teoritis hal ini sudah cukup memberi warna dalam pluralitas tadi. Sebenarnya kalau kita mau adil dan coba mensikapi hal ini secara arif dan rasional, maka dengan sendirinya kita akan tergiring kearah satu konsep hukum regional tempat di mana agama-agama itu tadi lahir dan berkembang. Kita tidak bisa menafikan satu aspek saja dengan memunculkan aspek yang lain. Karena pada dasarnya konsep pluralisme adalah menjujung tinggi nilai-nilai kebersamaan dari semua aspek masyarakat. Maka tidak salah jika di sebagian negara-negara Barat, pluralisme selalu dikedepankan dalam disiplin teologi, sosiologi dan filsafat agama, bahkan peranannya lebih sebagai revivalitas dari mobilisasi global.
Hal ini semakin kentara ketika struktur masyarakat masih mendominasi dalam proses interaksi sosial budaya yang lebih kuat. Oleh karenanya negara sendiri telah menyerukan hal ini melalui konsep hukum yang lebih sistematis. Gambaran yang terjadi dalam ideologi “Bhineka Tunggal Ika“ dimaknai sebagai sebuah simbol pemersatu dari beberapa perbedaan, serta sebagai sistem pendongkel eksklusifisme, fanatisme serta arogansi religiositas yang dibawa oleh segelintir pelaku agama yang menamakan dirinya sebagai sang pembela agama. Hal ini menjadi lebih ironi ketika pemaknaan konsep tersebut dianggap sebagai pendongkrak faham sekularisme, yang menurut mereka faham inlah sebagai pencetus awal ideologi persamaan antar agama. Padahal kalau kita sedikit saja mengesampingkan fanatisme dan aroganisme dengan melihat masalah ini dari sisi sosial kemasyarakatan, maka kita akan menemukan semacam ideologi normatif bahwa kesamaan agama sebagai sebuah aktualisasi dari mengembangnya aliansi kemanusiaan yang secara kodrati wajib bagi setiap individu untuk senantiasa mengedepankan prinsip harmonisasi dan kerukunan dalam komunitas. Kita yakin strukturisasi sistematis dalam setiap doktrin agama, tidak hanya mengutamakan kepentingan yang bersifat vertikal. Dukungan terhadap prinsip mengutamakan kepentingan golongan dari pada kepentingan pribadi dalam konteks ini patut dan layak untuk dikedepankan. Karena kita tahu pada dasarnya tiap-tiap agama membawa sisi kebaikan yang berbeda-beda.
Namun yang jelas, apapun bentuknya jika sebuah ajaran menganjurkan perpecahan maupun mengedepankan egoisitas dan fanatisme, hal seperti itu bukanlah merupakan hal yang sesuai dengan kodrati penciptaan manusia yang notabene sebagai makhluk sosial. Entah mana yang benar apakah praksis agama dalam konteks kaidah samawiyah?, atau praksis agama dalam tataran pluralisme dan sekularisme? Semua kembali kepada pribadi kita masing-masing.
Bagi Anda yang Pengen Belajar Design Grafis, Silahkan Klik Link Ini: Graphickoe.Com. Ayo Atuh di Klik, Biar Tutorialnya Muncul.
1 comments:
Mantab...!!! sepakat bangett..>!!!
Post a Comment