Get cash from your website. Sign up as affiliate.

Friday

Paper: Menciptakan Manusia Indonesia yang Berakhlak

BAB I
PENDAHULUAN


Sejarah Agama menunjukkan bahwa kebehagiaan yang ingin dicapai dengan menjalankan syariah agama itu hanya dapat terlaksana dengan adanya akhlak yang baik. Kepercayaan yang hanya berbentuk pengetahuan tentang keesaan Tuhan, ibadah yang dilakukan hanya sebagai formalitas belaka, muamalah yang hanya merupakan peraturan yang tertuang dalam kitab saja, semua itu bukanlah merupakan jaminan untuk tercapainya kebahagiaan tersebut.

Timbulnya kesadaran akhlak dan pendirian manusia terhadap-Nya adalah pangkalan yang menetukan corak hidup manusia. Akhlak, atau moral, atau susila adalah pola tindakan yang didasarkan atas nilai mutlak kebaikan. Hidup susila dan tiap-tiap perbuatan susila adalah jawaban yang tepat terhadap kesadaran akhlak, sebaliknya hidup yang tidak bersusila dan tiap-tiap pelanggaran kesusilaan adalah menentang kesadaran itu.
Kesadaran akhlak adalah kesadaran manusia tentang dirinya sendiri, dimana manusia melihat atau merasakan diri sendiri sebagai berhadapan dengan baik dan buruk. Disitulah membedakan halal dan haram, hak dan bathil, boleh dan tidak boleh dilakukan, meskipun dia bisa melakukan. Itulah hal yang khusus manusiawi. Dalam dunia hewan tidak ada hal yang baik dan buruk atau patut tidak patut, karena hanya manusialah yang mengerti dirinya sendiri, hanya manusialah yang sebagai subjek menginsafi bahwa dia berhadapan pada perbuatannya itu, sebelum, selama dan sesudah pekerjaan itu dilakukan. Sehingga sebagai subjek yang mengalami perbuatannya dia bisa dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya itu.

Sementara itu, seiring berkembangnya jaman yang semakin komplek, akhlak memegang peranan yang sangat penting. Propaganda seputar canggihnya produk-produk teknologi telah sedikit demi sedikit mengikis moralitas masyarakat. Di sini manusia dituntut untuk berperan sebagai kompetitor dalam arena modernisasi. Karena sebagai kompetitor maka dengan sendirinya perasaan sosialisme dalam sebuah kesatuan yang rukun, damai dan tentram bukanlah menjadi sesuatu yang penting. Sosio-budaya tidak lagi dianggap sebagai simbol komunitas beradab. Ironisnya, kapitalisme – sebagai paham yang paling bertanggung jawab terhadap pembatasan status sosial masyarakat – ikut memainkan peran dehumanisasi tersebut.

Oleh karena itu, atas dasar itulah maka penulis mencoba menganalisa kecenderungan dehumanisasi tersebut serta mekanisme penaggulangannya di dalam lingkup masyarakat Indonesia secara luas. Yang jadi persoalan di sini adalah “Bagaimana Menciptakan Manusia Indonesia Yang Berakhlak Mulia?”

Pada dasarnya pertanyaan di atas mengandung dua konsepsi dasar, yaitu “konsep Manusia” serta Konsep Akhlak”, yang dalam hal ini akan penulis jelaskan satu demi satu.

A. Konsep Manusia

Dalam tinjauan filsafat manusia tidak bisa begitu saja didefinisikan sebagai deskripsi siapa atau apa itu manusia. Kita bertanya tentang apa hakekat kita dalam terang pengharapan intuitif atau cita-cita tentang bagaimana manusia menjadi seharusnya. Manusia adalah subyek serta obyek yang penuh pengharapan. Segala sesuatu yang berkenaan dengan apa yang diinginkannya, relatif akan melibatkan sisi kausalitas yang bersamaan. Problem dalam pencapaian pengharapan tadi adalah konsep teoritis yang paling dominatif. Oleh karenanya subyektifitas manusia pada dasarnya adalah lahan problem dari sebuah proses perwujudan.

Illustrasi di atas akan menjadi relevan ketika kita rujukan pada pemahaman konsep manusia menurut Heschel yang mendefinisikan manusia adalah problem, ia adalah masalah, ia tidak memberikan kepastian hakekatnya. Manusia menjadi tanpa henti, berubah tanpa kepastian, segala upaya untuk merumuskan konsep manusia menunjukkan bahwa manusia adalah sebuah problem filosofis yang menarik. Manusia adalah tegangan antara kediriannya dengan pengharapannya. Di sini nampak Heschel mencoba merumuskan, permasalahan tentang manusia adalah peristiwa (tegangan) dirinya akan cita-cita dan harapannya dengan eksistensinya, antara apa seharusnya dia menjadi atau apa yang diinginkannya terjadi dengan apa yang sesungguhnya dia menjadi, atau apa yang menjadi realitasnya.

Selain Heschel, terdapat beberapa tokoh yang coba memberikan perumusan tentang konsep manusia, salah satunya adalah Sartre yang mengatakan bahwa manusia adalah mahluk yang memiliki dimensi transendensi dalam dirinya. Sartre menyebutnya etre pour soi, yakni ada bagi dirinya sendiri. Manusia adalah mahluk yang ada bagi dirinya sendiri. Manusia menolak faktisitas atau keterlemparan. Atas titik tolak inilah Sartre menegaskan eksistensialisme sebagai humanisme. Secara garis besar, seperti sudah disinggung diatas.

Apapun konsep manusia dari segala dimensi, yang pasti manusia adalah makhluk beradab yang dengan akal budinya mampu merespon segala aspek dari luar. Manusia adalah makhluk sosial yang dengan atributnya tersebut, manusia mampu berinteraksi dengan dunia luar.

Sementara itu menurut pandangan pancasila, manusia mempunyai keinginan untuk mempertahankan hidup dan menjaga kehidupan lebih baik. Ini merupakan naluri yang paling kuat dalam diri manusia. Pancasila sebagai falsafah hidup manusia Indonesia, memberikan pedoman bahwa kehidupan manusia didasarkan atas keselarasan, keserasian, dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai individu, hubungan manusia dengan masyarakat, hubungan manusia dengan alam, hubungan bangsa dengan bangsa, dan hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kebahagiaan rohaniah.

B. Konsep Akhlak

Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistic (kebahasaan), dan pendekatan terminologik (peristilahan).
Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitive) dari kata al-akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai timbangan (wazan) tsulasi majid af’ala, yuf’ilu if’alan yang berarti al-sajiyah (perangai), at-thobi’ah (kelakuan, tabiat, watak dasar), al-adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru’ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama).

Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagai mana tersebut diatas tampaknya kurang pas, sebab isim masdar dari kata akhlaqa bukan akhlak, tetapi ikhlak. Berkenaan dengan ini, maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara linguistic, akhlak merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya.

Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah, kita dapat merujuk kepada berbagai pendapat para pakar di bidang ini. Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M) yang selanjutnya dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya secara singkat mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Sementara itu, Imam Al-Ghazali (1015-1111 M) dengan agak lebih luas dari Ibn Miskawaih, mengatakan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gambling dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

Definisi-definisi akhlak tersebut secara subtansial tampak saling melengkapi, dan darinya dapat dilihat lima cirri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu;
Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiaannya. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. Kelima, sejalan dengan cirri yang keempat perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Sang Pencipta, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.

Dari uraian di atas, maka penulis mencoba merefleksikan beberapa konsep teoritis dari berbagai macam devinisi tentang manusia dan akhlak, yang sudah dijelaskan di atas. Di mana reflektifitas konsep tadi akan coba penulis kemas dalam paper ini dengan judul ” MENCIPTAKAN MANUSIA INDONESIA YANG BERAKHLAK”


BAB II
POKOK MASALAH


A. Dekadensi Moral Masyarakat

Semakin berkembangnya jaman, maka semakin plural pula masalah yang dihadapi masyarakat. Terlebih dengan semakin massifnya krisis multidimensi akhir-akhir ini telah dengan sukses menyetir kepribadian masyarakat ke arah dehumanisasi. Orang akan sedemikian mudahnya melegitimasi perilaku abnormal sebagai sebuah hal yang wajar dengan mengatas namakan hak asasi manusia.

1. Perkembangan Teknologi

Perkembangan tekhnologi dan ilmu pengetahuan adalah salah satu penyebab yang membuat manusia menjadi semakin jauh dari nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat. Fenomena ini dirasakan semakin nyata, mengingat sumber teknologi dan iptek pada dasarnya berasal dari pola akal manusia dengan tidak didasarkan pada normalitas. Di sini produk teknologi dipandang sebagai sebuah hal yang diagungkan. Secara praksis produk-produk teknologi tadi telah dengan sendirinya menjadi subyek dalam pola pembentukan kepribadian manusia.

2. Perilaku Menyimpang

Menurut Bruce J. Cohen, perilaku menyimpang sebagai perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak masyarakat atau kelompok tertentu dalam masyarakat. Ukuran yang menjadi dasae adanya penyimpangan buak baik atau buruk, benar atau salah menurut pengertian umum, melainkan berdasarkan ukuran norma dan nilai sosial suatu masyarakat.

Dekadensi moral yang berkembang di masyarakat tidak bisa lepas dari pengaruh liberalisasi dan modernisasi yang terus berkembang. Pengaruhnya telah sedemikian kuat mengadopsi segala aspek kehidupan masyarakat, termasuk dalam hal perilaku dan perbuatan mereka. Hal inilah yang kadang terlewatkan oleh sebagian pelaku norma dalam proses pengawasan terhadap anak. Alhasil akan berakibat pada gejala munculnya perilaku menyimpang dalam masyarakat. Kenyataan ini telah banyak terjadi di masyarakat global. Seperti contoh, maraknya peristiwa eksploitasi orang tua terhadap anak, bahkan tak terkecuali mereka yang masih sekolah. Secara sengaja, anak-anak tersebut diberikan beban berat untuk mencari nafkah demi kehidupan keluarganya. Karena tuntuntan yang relative kuat tadi, maka segala macam cara akan ditempuh oleh anak tersebut.

Dari sini nampak ada semacam pemaksaan perkembangan mental dan psychology anak. Proses perkembangannya telah jauh menyimpang dari sisi kodrati manusia, sehingga proses perkembangan mental tidak akan terkontrol dan cenderung disetir oleh emosionalitas mereka. Fenomena ini pada proses kelanjutannya akan menjerumuskan anak pada situasi penyimpangan sosial, yang pada dasarnya disebabkan oleh:

a. Ketidaksanggupan menyerap norma-norma kebudayaan.
b. Proses belajar yang menyimpang
c. Ketegangan antara kebudayaan dan struktur sosial
d. Ikatan Sosial yang berlain-lain
e. Akibat proses sosialisasi nilai-nilai sub kebudayaan menyimpang.

Sementara ada beberapa factor yang mendasari munculnya perilaku menyimpang pada masyarakat, antara lain:

a. Sikap Mental yang tidak sehat
b. Dorongan kebutuhan ekonomi
c. Pelampiasan rasa kecewa
d. Pengaruh Lingkungan dan media massa
e. Keinginan dipuji atau gaya hidup tinggi
3. Teori Perilaku Menyimpang

Dalam pembahasan mengenai teori perilaku menyimpang, maka yang perlu dicari tahu adalah mengapa seseorang melakukan penyimpangan? Tentu pokok utama terjadinya hal tersebut adalah dari sumber terjadinya penyimpangan itu sendiri, apakah dari cara interaksi sosialnya, atau karena struktur sosialnya. Berikut beberapa teori yang berkaitan dengan penyimpangan sosial:

a. Teori Differential Association

Menurut pandangan teori ini penyimpangan sosial bersumber panda pergaulan yang berbeda. Penyimpangan terjadi melaului proses alih budaya. Melalui proses ini seseorang mempelajari suatu budaya menyimpang seperti, perilaku homoseksual, hubungan seks pra nikah dan penyalahgunaan narkoba.

b. Teori Labeling

Menurut Teori ini, seseorang menjadi penyimpang karena prose labeling, pemberian julukan, cap, etiket, dan merk yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang. Awalnya seseorang melakukan penyimpangan primer, misalnya, mencuri, menipu, dan melanggar susila. Si peyimpang tersebut oleh masyarakat dijuluki pencuri, penipu dan pemerkosa. Akibat julukan tersebut, maka si penyimpang akan terdorong melakukan peyimpangan skunder (tahap lanjut), sehingga mulai menganut gaya hidup menyimpang.

c. Teori Merton

Teori ini mendasarkan sumber penyimpangan dari struktur sosial. Menurut Merton, struktur sosial tidak hanya menghasilkan perilaku konformis, tetapi menghasilkan perilaku menyimpang, pelanggaran terhadap aturan sosial dan menekan orang tertentu kearah perilaku konformis. Artinya, terjadi perilaku menyiompang itu sebagai bentuk adaptasi terhadap situasi tertentu.

d. Teori Fungsi Durkheim

Dalam pandangan teori ini bahwa keseragaman dalam kesadaran moral semua anggota masyarakat tidak mungkin terjadi. Itu disebabkan setiap individu berbeda satu sama lainnya tergantung factor yang mempengaruhi, seperti factor keturunan, lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Dengan demikian kejahatan itu akan selalu ada, karena orang yang berwatak itu selalu ada. Bahkan menhurut Durkheim kejahatn itu perlu, agar moralitas dan hukum itu berkembang secara formal.

e. Teori Konflik

Penganjur teori ini adalah Karl Mark, ia mengemukakan bahwa kejahatan erat terkait dengan perkembangan kapitalisme. Menurut teori ini, apa yang meruapakan perilaku meyimpang hanya dalam pandangan kelas yang berkuasa untuk melindungi kepentingan mereka. Dengan demikian, peradilan pidanapun lebih memihak panda kepentingan mereka. Oleh sebab itu, orang yang dianggap melakukan kejahatan dan terkena hukuman pidana umumnya berada dari kalangan rakyat miskin.

B. Hal-hal yang Mempengaruhi Dekadensi Moral Masyarakat

Salah satu hal yang paling dijunjung dalam masyarakt adalah akhlak. Secara kompleks akhlak senantiasa mengiringi setiap kepribadian manusia. Elastisitas akhlak relative ditentukan oleh para pelaku akhlak itu sendiri, yang dalam hal ini adalah manusia. Di mana lewat akal budinya manusia dituntut untuk bertanggung jawab terhadap perilaku akhlak itu sendiri.

Namun dalam kenyatannya akhlak atau moral akhir-akhir ini cenderung lebih mengalami dekadensi. Hal ini terjadi bukanlah secara kebetulan dan tanpa sebab. Akan tetapi ada beberapa hal yang menjadi sebab munculnya dekadensi moral tersebut, di antaranya:

1. Rendahnya rasa ke-Imanan Seseorang.

Lemahnya iman merupakan pertanda dari kerendahan dan rusaknya moral, ini disebabkan karena iman merupakan kekuatan (untuk membina akhlak) dalam kehidupan seseorang.

2. Lingkungan

Lingkungan memberikan dampak yang sangat kuat selain orang tua dan keluarga bagi perilaku seseorang,

3. Kondisi tak Terduga

Terkadang seseorang secara tak terduga mendapati kondisi yang menjadi sebab bagi berubahnya perilaku dan kehidupannya. Yang tadinya baik tiba-tiba berubah menjadi buruk, jahat, tak bermoral dan sebagainya. Di antara kondisi tak terduga tesebut adalah: Terisolasi dari lingkungan, Kaya, Emisionalitas dan lain sebagainya.

4. Tabi’at (Watak Asli)

Ada sebagian orang yang memang memiliki tabi’at/watak asli yang buruk, rendah, suka iri dan dengki terhadap orang lain. Dan tabi’at ini lebih mendominasi pada diri orang tersebut, sehingga terkadang pendidikan yang diperolehnya sama sekali tidak mempengaruhi perilakunya.

5. Rumah Tangga

Jika sebuah rumah tangga penghuninya membiasakan akhlak yang baik, maka seorang anak akan ikut terbiasa juga dengan akhlak tersebut. Sebaliknya jika sebuah rumah tangga tidak pernah mengenalkan dan membiasakan akhlak yang baik, maka seorang anak juga akan tidak tahu adab dan ketinggian moral.

6. Kekerdilan Jiwa (Rendah Diri)

Ketika jiwa seseorang kerdil maka dia tidak mampu untuk memenuhi berbagai macam hak dan kewajiban yang dibebankan kepadanya karena merasa berat dengan itu semua. Oleh karena itu dia mencari-cari alasan yang tidak benar atas kesalahannya dengan berbagai cara seperti berdusta, berkhianat atau bersikap munafik. Tak jarang juga melemparkan kesalahan kepada pihak lain yang sebenarnya tidak bersalah.



BAB III
ANALISA MASALAH


A. Mengenal Potensi Anak

Setiap anak yang lahir dapat dipastikan membawa potensi yang berbeda-beda. Keberagaman potensi anak ini bukanlah merupakan sesuatu barang yang bisa dipesan. Ia datang dan berkembang seiring dengan proses perkembangan psykologi anak. Pada dasarnya potensi ini merupakan frame kosong yang dapat kita beri layout pemikiran sesuai dengan harapan kita. Ia adalah konsep pasif dengan ruang yang siap untuk diisi oleh berbagai system pembentukan kepribadian. Karena itu konsep pembentukan kepribadian anak untuk senantiasa berakhlak dan berbudi pekerti mulia, adalah tanggung jawab orang tua, masyarakat dan lingkungannya.

Pengenalan mengenai potensi anak sangatlah penting. Hal ini dengan sendirinya akan menempatkan anak sebagai pelaksana yang kreatif serta komando buat perilaku sosialnya. Bakat yang terpendam seringkali memberikan efek motorik pada anak. Dengan demikian anak akan senantiasa fokus dalam proses pengembangan bakat dan potensi mereka. Guna mendukung hal tersebut, maka faktor orang tua, keluarga dan lingkungan sangat diperlukan. Peran serta orang tua di sini simaksudkan di mana orang tua sesering mungkin memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak. Karena panda dasarnya tingkat perkembangan potensi anak sangat berbarengan dengan perkembangan psykologinya.

Di sini sosialisasi dalam keluarga dapat berlangsung terus sampai anak dewasa. Sosialialisasi orang tua terhadap anak tidak hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan fisik semata, akan tetapi esensinya lebih dicenderungkan kepada kebutuhan mentalnya, seperti kebutuhan kasih sayang, budi pekerti, sampai kepada kebutuhan pengenalan potensi mereka.

B. Pendidikan Agama

Salah satu media pembentuk karakter anak selain orang tua dan keluarga adalah pendidikan formal, di mana lembaga ini mempunyai andil yang sangat besar terhadap proses pembentukan karakter nilai. Peranannya tidak saja terbatas pada frame pengolah akal budi, akan tetapi eksistensinya lebih kepada penciptaan pengetahuan-pengetahuan baru yang luas.

Di sini anak relative dibimbing secara rasional untuk lebih mengenal mobilisasi pengetahuan-pengetahuan baru. Lewat pendidikan formal, anak akan merasa tersupply oleh segala sesuatu yang sebelumnya tidak di dapat dari keluarga. Lewat pendidikan formal, anak relative diarahkan untuk menjadi individu-individu yang cerdas, pintar dan realistis dalam menghadapai arus globalisasi dan modernisasi. Anak dituntut untuk menjadi konseptor dalam bejana pluralitas.

Namun dalam perkembangannya, konsep ini cenderung mengeliminasi pertumbuhan budi pekerti dan akhlak anak. Kepribadian seputar tata nilai justru bukanlah menjadi suatu hal yang diprioritaskan. Anak akan tenggelam panda arus rasional semata. Sedangkan perkembangan tata nilai yang bersumber dari hati dan nurani cenderung dilupakan. Jika hal ini dibiarkan berlarut, maka dalam proses perkembangannya anak akan menjadi pribadi yang pintar secara akal dan cerdas secara logika tetapi tidak berbasic pada tata nilai dan budi pekerti. Hal ini jelas tidak sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri.

Untuk itu, guna memberikan arah kepada rasionalitasnya, di sini pendidikan agama sangat diperlukan. Dengan pendidikan agama, anak diharapkan mampu mengembangkan pola pikir dan kecerdasannya dengan tetap berpegang teguh pada sendi-sendi normalitas serta budi pekerti yang luhur.

C. Validasi Pendidikan Nilai

Tata budi sangat berperan terhadap proses sosialisasi kehidupan manusia dalam masyarakat. Pembentukan akhlak tidak saja terbatas pada pengertian yang lebih massif dari sebuah mengembangnya peradaban manusia. Akan tetapi dalam predikat praksis kemasyarakatan, pembentukan akhlak relative dimaknai sebagai sisi kesadaran bersama dalam lingkup yang lebih luas. Konsekuensi diri sebagai individu rasional semakin memaksa pola pikir manusia ke arah tatanan hidup yang berbudi pekerti luhur. Refleksi moral ini akan senantiasa mengantarkan eksistensi manusia sebagai palaku kemanusiaan serta mengukuhkan predikatnya sebagai makhluk Tuhan yang bijak, arif dan cenderung mengutamakan kepentingan golongan dari pada kepentigan personal.
Dari sini kita tentu tahu, bahwa nilai budi relative mengalir dan dia lebih fleksibel sesuai dengan arus peradaban yang berkembang. Namun demikian, nilai budi harus diproporsikan sebagai subyek pengendali peradaban kea rah yang lebih baik. Hal dimaksudkan guna menghindari adanya degradasi moral yang lebih bersifat eliminatif. Serta untuk mendobrak tentang pemahaman nilai budi sebagai suatu paradigma yang mati, pasif dan non-fungsional. Oleh karenanya perlu adanya system pendidikan nilai yang positif, humanis dan membangun, yakni pendidikan yang berfungsi sebagai mediator yang secara kompleksitas mencakup segala aspek moralitas bangsa.

Kalau kita amati secara mendalam, nampak sekali adanya faktor kausalitas yang lebih urgen dalam pengaruhnya terhadap kompleksitas tersebut. Di sini sebuah struktural birokratif telah ikut memainkan peranan penting dalam system kausalitas tadi. Struktural birokratif tersebut adalah negara yang paling tidak mempunyai otonomi dan otokrasi secara eksistensial, serta merupakan doktrin yang mampu memberikan naungan secara universal pada rakyatnya. Negara bukanlah simbol dari sebuah institusi yang beku, mati dan chauvinisme. Negara adalah realisasi aktif dari sebuah dikotomik yang plural. Karena dari negaralah sebuah tata nilai humanisme akan lahir. Negara memainkan peranan yang fungsional dalam merekonstruksi sebuah ideologi rakyat.
Namun demikian kita perlu tahu bahwa pada dasarnya esensi sebuah negara adalah hanya terbatas pada kerangka objektifitas yang pasif, di mana mobilisasi seputar urgensitas-nya terhadap tata nilai dalam pragmatisme kemasyarakatan sangat tergantung pada mereka yang menganggap dirinya sebagai para pelaku atau pelaksana yang berperan aktif dalam menjalankan roda perkembangan negara tersebut. Dengan demikian sebuah negara akan sulit diproporsikan pada kerangka persuasif manakala perasaan nasionalisme belum dikatakan mengakar di setiap sisi dimensi masyarakatnya. Sementara itu guna mendorong massifnya perasaan nasionalisme tadi, masyarakat sangat memerlukan adanya semacam program pendidikan moral yang berkaitan dengan norma-norma kemasyarakatan.

Kalau dilihat pada standarisasi formal akademik, memang strukturisasi akademis telah menunjukkan pola kurikulum yang boleh dibilang kredibilitatif.. Hal ini dapat dilihat dengan kondusifnya sebuah konsepsi logis pendidikan nasional yang ditandai dengan adanya mata pelajaran yang lebih bersifat normatif, seperti PPkN, Pendidikan Etika dan Moral. Bahkan tidak sedikit lembaga pendidikan yang masuk pada tataran akreditasi. Akan tetapi praksis aktualistis telah menunjukkan sesuatu yang sebaliknya. Pragmatisme pendidikan sama sekali tidak menghasilkan restrukturisasi dari mengembangnya sebuah polarisasi tata nilai. Dikotomik ini tentu saja sangat bertentangan dengan pola dasar yuridisasi pendidikan bangsa yang lebih mengedepankan konsep perikemanusiaan, humanisme, serta demokratisasi dalam kerangka negara kesatuan Indonesia. Apabila pikiran kita dibiarkan menyelam ke dalam persoalan ini, tentu sebuah pertanyaan akan muncul ke permukaan, yaitu mungkinkah hasil yang di dapat dari pragmatisme pendidikan tadi akan mengalami kongruensi dengan mekanisme dasar pendidikan nasional ?, atau malah sebaliknya, hasil dari kausalitas pendidikan tadi tetap akan masuk pada tataran paradigma imajinatif saja ?.

Sentralisasi permasalahan sebenarnya terletak pada tingkat demokratisasi dan strukturisasi normative dari tiap dimensi masyarakat. Karena pada dasarnya praksis aktualistis selalu menunjukkan bahwa sumber daya manusia mempunyai tingkat peran yang paling tinggi dalam rangka mewujudkan cita-cita tersebut. Hal ini sangat logis mengingat sumber daya manusia, dimanapun tempatnya akan selalu diproporsikan sebagai the custom of law-nya masyarakat. Di Indonesia sendiri sebenarnya kreditasi sumber daya manusia mempunyai tingkat paling tinggi. Namun karena pengaruh chauvinisme otoritas, baik sengaja atau tidak telah berdampak pada polarisasi primordialisme masyarakat bawah. Dan hal ini semakin kentara ketika mobilisasi peradaban profan dan paradigma modernisme merambah secara persuasive di lingkungan masyarakat atas. The custom of law tidak lagi tampak secara actual sebagai atribut masyarakat lokal. Pengaruhnya jauh tereliminasi oleh mengembangnya paradigma baru yang lebih sekuler.
Illustrasi di atas memberikan pada kita sebuah aktualisasi tentang tereliminasinya tatanan sosial birokrasi sebuah negara, ke dalam suatu lingkaran dehumanisasi dan chauvinisme secara keseluruhan. Munculnya total lose di lingkungan birokrasi Indonesia tersebut bukan tidak mungkin adalah sebagai realisasi dari mengembangnya watak arogansi, dehumanisasi dan chauvinisme serta berakarnya konsep mementingkan diri sendiri demi mencapai suatu tujuan. Sementara harapan-harapan akan menuju pada sebuah tata nilai yang persuasif hanya terbatas pada tataran imajinatif belaka.
Kalau kita aktualisasikan secara normatif sebenarnya munculnya berbagai isu paradigma sekuler tadi, tampak akan menjadi lokomotif yang mengantarkan kita pada sebuah revivalisme yang humanis, kondusif serta konstitusional. Karena pada dasarnya determinisme ini bukanlah merupakan suatu rekonstruksi dari sebuah masifikasi. Ia lebih merupakan wacana konseptual dari mengembangnya sebuah pemikiran humaniora. Namun jika munculnya fenomena modernisme tadi relative dimaknai sebagai sebuah intervensi cultural yang jahat dan dominatif, maka secara otomatis ia akan terproporsi pada sebuah paradigma baru yang non-ko-operatif, openhardig, dan chauvisnisme. Ia adalah lebih merupakan kristalisasi dari fenomena emosional yang bersifat temporal, dan bukan sebagai revivalisasi dari mengembangnya akal pikir manusia.

Namun demikian lepas dari proporsitas paradigma modernisme itu sendiri, yang pasti kemunculannya telah membawa dampak tersendiri bagi kelangsungan rekonsiliasi komunitas masyarakat. Ia telah dengan kuat mencengkram segala dimensi imajinatif rakyat.

Apabila kita melihat ini sebagai sebuah invasi baru yang lebih sekuler, maka kita akan dihadapkan pada praktisisme dari mengembangnya techno-kapitalisme modern, yang dengan sengaja akan membutuhkan semacam karakteristik ke-ilmuan yang dianggap mampu memberikan dampak positif, persuasive dan legitimage bagi masyarakat secara keseluruhan. Dari sinilah “pendidikan nilai” sangat diperlukan.

Pendidikan Nilai bukan saja dimaknai sebagai bidang keilmuan yang hanya terbatas pada struktur birokratis akademik semata, akan tetapi, di samping sebagai bagian dari mekanisme kurikulum yang secara teoritis tercantum dalam mata pelajaran etika, akhlak dan moral, ia lebih merupakan suatu polarisasi yang akan menempatkan masyarakat sebagai peserta didik, dalam sebuah komunitas dan bukan sebagai suatu individu yang beku, pasif dan sempit fikir. Pendidikan nilai adalah rekonsiliasi akal budi yang akan membawa pola pikir rakyat kearah tatanan yang lebih dinamis dan eksistensial. Ia adalah suatu pola yang secara kompleks lebih kontaminatif meresap ke semua sisi dimensional masyarakat. Ia tidak semata mengeliminasi munculnya dampak negative dari mengembangnya paham techno capitalism di lingkungan masyarakat, tetapi lebih dari itu ia akan menempatkan masyarakat sebagai subyek yang berperan secara aktif dan fungsional. Dalam pengertian, masyarakat adalah komunitas subyek yang dengan akal budinya mampu memberikan reaksi empiris terhadap paradigma-paradigma baru yang muncul.

Di sini, pemahaman tentang konsep masyarakat subyek bukanlah masyarakat yang relative mengedepankan perasaan otoriterisme, dimana perasaan peng-aku-an lebih didasarkan pada konsep aroganis, emosionalis serta egoisitasnya. Misalnya kasus-kasus seputar tindakan dehumanisasi yang dilakukan aparat terhadap aksi-aksi demo mahasiswa yang lagi marak akhir-akhir ini, atau kasus pelecehan HAM yang dilakukan Polisi Pamong Praja terhadap aksi demo korban penggusuran, serta masih banyak lagi kasus-kasus yang mungkin motif dan jenisnya beda, tetapi mempunyai titik artikulasi yang sama.

Dengan Pendidikan Nilai, masyarakat dituntut sedemikian rupa untuk selalu menempatkan isu-isu baru yang muncul sebagai sebuah wacana logis, yang mana restruksturisasi kultur lokal dapat berjalan seiring dengan rekomendasi akal budi, sehingga diharapkan mampu menghasilkan kristalisasi posistif dari munculnya isu seputar pluralisasi techno capitliasm. Untuk menjalankan suatu rekonstruksi secara methodis, mekanis dan proporsional, sepertinya proses ini dalam perkembangannya, bukanlah merupakan suatu yang prediktif dan bersifat spontan. Pendidikan harus dijalani secara tuntas dan menyeluruh, dan tidak hanya sebatas pada tataran pendidikan menengah saja yang praksisnya kebanyakan disesuaikan dengan tingkat ekonomi mereka. Faktor inilah yang menjadi landasan fundamental runtuhnya moralitas bangsa.


BAB IV
PENUTUP


A. Kesimpulan

Pemegang kendali proses kehidupan di dunia ini adalah manusia, di mana dalam interaksinya, manusia relatif memerlukan faktor pendukung internal yang lebih urgen. Di sini akhlak memainkan peranan vital dan lebih persuasive. Untuk itu, dalam merevitalisasi akhlak tersebut agar lebih dinamis dan beradab, manusia secara kodrati di karuniai akal sehat dan budi perkerti, sebagai lokomotif yang mengantarkan manusia kea rah sosialisasi beradab.

Namun dalam kenyataannya budi pekerti tadi tidak sepenuhnya berjalan sesuai kaidah-kaidah alamiah itu sendiri. Hal ini bisa dilihat gari munculnya fenomena dekadensi moral akhir-akhir ini yang lebih ditunjukkan lewat:

1. Perkembangan Teknologi
2. Perilaku Menyimpang
3. Teori Perilaku Menyimpang

Sementara itu, banyak factor yang mempengarhui problematika di atas, di antaranya:

1. Rendahnya rasa ke-Imanan Seseorang.
2. Lingkungan
3. Kondisi tak Terduga
4. Tabi’at (Watak Asli)
5. Rumah Tangga
6. Kekerdilan Jiwa (Rendah Diri)

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengantisipasi kecenderungan dehumanisasi tersebut adalah:

1. Mengenal Potensi Anak
2. Pendidikan Agama
3. Validasi Pendidikan Nilai

B. Saran

Mobilisasi teknologi dalam era modernisasi sangat rawan pengaruhnya terhadap akhlak masyarakat. Untuk itu sejak dini perlu ditanamkan pendidikan moral dan spiritual yang sekiranya bisa memberikan semacam pencerahan terhadap relevansi antara akal budi, rasio dan nurani mereka. Di sini peran orang tua, keluarga, lingkungan dan pendidikan formal sangat diharapkan membawa pengaruh positif buat kelangsungan interaksi kepribadian tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Danang, http://masdananang.co.cc/?p=23)

Heschel, Abraham, God in Search of Man, New York, Harper Torchbooks, 1955.

http://rezaantonius.multiply.com/journal/item/76

http://rezaantonius.multiply.com/journal/item/76

Hurlock, 1994

http://bataviase.co.id/node/23303)

Ilmu Pengetahuan Sosial Terpadu Untuk SMP/MTs”, Swadaya Murni, Jakarta.

Umasih, Dwi Sukanti LN, Sri Yanti R, M. Yasin, Sri Ethicawati, ”IPS Terpadu untuk
SMP Kelas VIII”, Ganeca, Exact, Th.2007.

Tutorial blog dan Kumpulan Artikel lengkap serta gratis

Share/Bookmark

Bagi Anda yang Pengen Belajar Design Grafis, Silahkan Klik Link Ini: Graphickoe.Com. Ayo Atuh di Klik, Biar Tutorialnya Muncul.

silahkan baca juga:



2 comments:

My-Belix on January 6, 2010 at 8:48 AM said...

Wah..panjang yah artikelnya.... memang jaman sekarang kelihatannya akhlak manusia semakin menurun, hanya agama yang bisa mengembalikan itu semua...

photoshop on January 15, 2010 at 4:43 PM said...

Mantab artikelnya pak..., sangat sesuai dengan realitas mayarakat Indonesia sekarang....., nice post...!!!


Post a Comment

Untuk Berlangganan Artikel dari Blog Ini, Silahkan Masukkan E-mail Anda Di sini:

Delivered by FeedBurner

Pilih Bulan



Link Enchange


Mau Tukar Link? Copy/Paste Kode HTML Berikut ke Blog Anda


Tutorial blog dan Kumpulan Artikel Lengkap serta gratis

 

Recent Post

Recent Comment

Followers